Selamat datang di website kami, Haidar Khotir, semoga sajian kami bermanfaat

Fenomena Ghuluw (Melampaui Batas) Dalam Agama


Sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam agama adalah sikap yang tercela dan dilarang oleh syariat. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya; juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam urusan agama.

Banyak sekali dalil-dalil al-Qur'ân dan Sunnah yang memperingatkan dan mengharamkan ghuluw atau sikap melampaui batas tersebut.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". [al-Mâ`idah/5:77]

Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, dia berkata: "Pada pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas kendaraan, beliau berkata kepadaku: “Ambillah beberapa buah batu untukku!” Maka aku pun mengambil tujuh buah batu untuk beliau yang akan digunakan melontar jumrah. Kemudian beliau berkata:

أَمْثَالَ هَؤُلاَءِ فَارْمُوْا ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

“Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.”[1]

Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan.[2]

BEBERAPA ISTILAH UNTUK SIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM AGAMA.

Ada beberapa ungkapan lain yang digunakan oleh syariat selain ghuluw ini, di antaranya:

1. Tanaththu’ (Sikap Ekstrem).

`Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

“Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.”[3]

2. Tasyaddud (Memberat-Beratkan Diri).

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ

"Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka."[4]

Dalam hadits lain pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ

"Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal)."[5]

3. I’tidâ’ (Melampaui Ketentuan Syariat).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [al-Baqarah/2:190].

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا

“Itulah batasan-batasan hukum Allah, maka janganlah kalian melampauinya.” [al-Baqarah/2:187]

4. Takalluf (Memaksa-Maksa Diri).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” [Shâd/38:86]

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami dilarang bersikap takalluf (memaksa-maksa diri).”[6]

SEBAB MUNCULNYA SIKAP GHULUW.

Sebab-sebab munculnya sikap ghuluw ini bermacam-macam, di antaranya:

1. Kebodohan dalam agama. Ini meliputi kebodohan terhadap tujuan inti syariat Islam dan kaidah-kaidahnya serta kebodohan dalam memahami nash-nash al-Qur'ân dan Sunnah. Sehingga kita lihat sebagian pemuda yang memiliki semangat akan tetapi masih dangkal pemahaman dan ilmunya terjebak dalam sikap ghuluw ini.

2. Taqlîd (ikut-ikutan). Taqlîd hakikatnya adalah kebodohan. Termasuk di antaranya adalah mengikuti secara membabi-buta adat istiadat manusia yang bertentangan dengan syariat Islam serta mengikuti tokoh-tokoh adat yang menyesatkan. Kebanyakan sikap ghuluw dalam agama yang berlaku di tengah-tengah masyarakat berpangkal dari sebab ini.

3. Mengikuti hawa nafsu. Timbangan hawa nafsu ini adalah akal dan perasaan. Sementara akal dan perasaan tanpa bimbingan wahyu akan bersifat liar dan keluar dari batasan-batasan syariat.

4. Berdalil dengan hadits-hadits lemah dan palsu. Hadits-hadits lemah dan palsu tidak bisa dijadikan sandaran hukum syar’i. Dan pada umumnya hadits-hadits tersebut dikarang dan dibuat-buat bertujuan menambah semangat beribadah atau untuk mempertebal sebuah keyakinan sesat.

BENTUK-BENTUK GHULUW.

Secara garis besar, ghuluw ada tiga macam: dalam keyakinan, perkataan dan amal perbuatan.

Ghuluw dalam bentuk keyakinan misalnya sikap berlebih-lebihan terhadap para malaikat, Nabi dan orang-orang shalih dengan meyakini mereka sebagai tuhan. Atau meyakini para wali dan orang-orang shalih sebagai orang-orang yang ma’shûm (bersih dari dosa). Contohnya adalah keyakinan orang-orang Syi’ah Rafidhah terhadap ahli bait dan keyakinan orang-orang sufi terhadap orang-orang yang mereka anggap wali.

Ghuluw dalam bentuk ucapan misalnya, puji-pujian yang berlebih-lebihan terhadap seseorang, doa-doa dan dzikir-dzikir bid’ah, misalnya puji-pujian kaum sufi terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan wali-wali mereka; demikian pula dzikir-dzikir mereka yang keluar dari ketentuan syariat. Contoh lainnya adalah menambah-nambahi doa dan dzikir, misalnya menambah kata sayyidina dalam salawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ghuluw dalam bentuk amal perbuatan misalnya mengikuti was-was dalam bersuci atau ketika hendak bertakbîratulihrâm; sehingga kita dapati seseorang berulang-ulang berwudhu’ karena mengikuti waswas. Demikian seseorang yang berulang-ulang bertakbîratul ihrâm karena anggapan belum sesuai dengan niatnya.

Sebenarnya, ada satu jenis ghuluw lagi yang perlu diwaspadai yaitu ghuluw dalam semangat. Jenis ini biasanya merasuki para pemuda yang memiliki semangat keagamaan yang berlebih-lebihan akan tetapi dangkal pemahaman agamanya. Sehingga mereka jatuh dalam sikap sembrono dalam menjatuhkan vonis kafir, fasiq dan bid’ah.

VIRUS GHULUW.


Virus ghuluw ini biasanya diawali dengan sesuatu yang sepele namun dalam waktu singkat akan digandrungi sehingga kemudian meluas. Orang-orang yang bersikap ghuluw dalam agama akan berbicara tentang Allah Azza wa Jalla tanpa haq, tentang agama tanpa ilmu, sehingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Sikap ghuluw inilah yang merupakan penyebab munculnya seluruh penyimpangan dalam agama, demikian juga penyimpangan dalam sikap dan perbuatan.

Islam telah menentang semua perkara yang mengarah kepada sikap ghuluw. Semoga Allah Azza wa Jalla merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang berkata: “Agama Allah Azza wa Jalla adalah agama pertengahan, antara sikap ekstrim (berlebih-lebihan) dan sikap moderat (terlalu longgar).”

Ibnu Hajar rahimahullah menukil perkataan Ibnul Munîr sebagai berikut:“Hadits ini termasuk salah satu mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita semua sama-sama menyaksikan bahwa setiap orang yang melewati batas dalam agama pasti akan terputus. Maksudnya bukanlah tidak boleh mengejar ibadah yang lebih sempurna, sebab hal itu termasuk perkara yang terpuji. Perkara yang dilarang di sini adalah berlebih-lebihan yang membuat jemu atau melewati batas dalam mengerjakan amalan sunat hingga berakibat terbengkalainya perkara yang lebih afdhal. Atau mengulur kewajiban hingga keluar waktu. Misalnya orang yang shalat tahajjud semalam suntuk lalu tertidur sampai akhir malam, sehingga terluput shalat Subuh berjama'ah, atau sampai keluar dari waktu yang afdhal atau sampai terbit matahari sehingga keluar dari batasan waktunya."

Dalam hadits Mihzan bin al-Adra' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:

إِنَّكُمْ لَنْ تَنَالُوْا هَذَا الأَمْرَ بِالمُغَالَبَةِ، وَخَيْرَ دِيْنِكُمْ اليُسْرَةُ

Kalian tidak akan dapat melaksanakan agama ini dengan memaksakan diri. Sebaik-baik urusan agamamu adalah yang mudah."

Pernah ada tiga orang yang ingin mengetahui aktifitas ibadah n Nabi di rumah. Mereka tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka bertanya kepada 'Aisyah z tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka merasa ibadah beliau n itu hanya sedikit. Mereka berkata: "Dimanakah kedudukan kami dibanding dengan Nabi!? Padahal telah diampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan datang."
Maka salah seorang dari mereka berkata: "Aku akan shalat malam terus menerus tidak akan tidur."
Yang lain berkata: "Aku akan puasa terus menerus tanpa berbuka."
Dan yang lain berkata: "Aku tidak akan menikah selama-lamanya."

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka seraya mengatakan:

أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ للهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ؛ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

"Kaliankah yang mengatakan begini dan begini?! Adapun diriku, demi Allah Azza wa Jalla , aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur serta aku menikahi wanita! Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku."[7]

Dalam kesempatan lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَتَنَزَّهُوْنَ عَنْ الشَّيءِ أَصْنَعُهُ فَوَاللهِ إِنِّي لأَعْلَمُهُمْ بِاللهِ وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً

“Bagaimana halnya kaum-kaum yang menjauhkan diri dari sesuatu yang kulakukan? Demi Allah Azza wa Jalla , aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah Azza wa Jalla dan yang paling takut kepada-Nya.”[8]

Dalam menjelaskan hadits ini ad-Dawudi berkata: "Menjauhkan diri (dengan anggapan hal itu lebih baik-pent) dari dispensasi yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan dosa besar. Sebab ia memandang dirinya lebih bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla daripada rasul-Nya. Ini jelas sebuah penyimpangan.” Ibnu Hajar t menambahkanm, “Tidak diragukan lagi kesesatan orang yang meyakini demikian (meyakini bahwa hal itu lebih baik)."[9]

MENJAUHI GHULUW BUKAN BERARTI JATUH DALAM TAQSHIR (MELONGGAR-LONGGARKAN DIRI).

Akan tetapi perlu juga kita waspadai, bahwa dalam menjauhi sikap ghuluw ini kita juga jangan sampai terjebak ke dalam sikap taqshîr (melalai-lalaikan dan melonggar-longgarkan diri).

Ini merupakan tipu daya setan yang luar biasa. Setan selalu mencari titik lemah seorang insan. Apabila titik lemahnya pada sikap ghuluw maka setanpun masuk melalui pintu ghuluw dan apabila titik lemahnya pada sikap taqshîr maka setanpun masuk melalui pintu taqshîr. Memang, mempertahankan diri di tengah-tengah antara sikap ghuluw dan sikap taqshîr merupaka suatu perkara yang sulit. Kesuksesan, kebahagiaan dan keberhasilan dalam urusan akhirat maupun dunia tergantung dengan cara kita menempatkan segala sesuatu secara proporsional menurut pandangan syariat yang hanîf dan fitrah ini. Karena setiap ketidakseimbangan akan menyebabkan ketimpangan dan keberatan yang akan menghalangi tercapainya tujuan.

Dalam hal ini setan akan melihat dari pintu manakah ia mungkin masuk. Jika setan melihat bahwa yang lebih dominan pada diri seseorang adalah potensi rendah diri dan gampang menyerah, maka setanpun menanamkan rasa malas dalam dirinya, mengendorkan semangatnya, menggambarkan berat amal-amal ketaatan dan mendorongnya untuk mudah mengabaikan kewajiban, sampai akhirnya ia meninggalkan kewajiban itu sama sekali.

Namun jika setan melihat bahwa yang lebih dominan pada diri seseorang adalah semangatnya yang menggebu-gebu, mulailah setan menanamkan anggapan bahwa apa yang diperintahkan itu baru sedikit dan belum cukup untuk mengimbangi semangatnya, sehingga ia serasa membutuhkan sesuatu yang baru sebagai tambahannya.[10]

JANGAN SALAH MENILAI GHULUW


Sebagaimana halnya kita tidak boleh terjebak dalam sikap taqshîr karena menghindari ghuluw, demikian pula kita jangan salah menilai ‘ghuluw’. Sebagian orang menilai keteguhan memegang syariat dan istiqamah di atasnya merupakan sikap ghuluw. Sebagai dampaknya, mereka menganggap pengamalan sebagian sunnah Nabi sebagai sikap ghuluw. Ini jelas salah besar. Memang kita membenci sikap ghuluw, namun hendaknya kita jangan salah menilai. Sebagian orang beranggapan memelihara jenggot, memakai cadar, mengenakan pakaian sampai setengah betis, memakai gamis bahkan shalat lima waktu berjama’ah di masjid pun dianggap ghuluw. Ini tentu penilaian yang salah. Sebab, seluruh perkara-perkara tersebut adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang dianjurkan bahkan ada yang wajib. Penilaian yang salah ini bisa berakibat fatal, yaitu perkara-perkara sunnah dianggap sebagai perkara bid’ah, dan sebaliknya perkara bid’ah dianggap sunnah. Hakikat ghuluw adalah sesuatu yang melangkahi ketentuan syariat. Penilaian tersebut didasari atas kebodohan dalam memahami apa itu ghuluw dan juga kejahilan terhadap sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tidak boleh menilai sesuatu tanpa ilmu. Dan berbicara tentang agama Allah Azza wa Jalla tanpa ilmu merupakan salah satu langkah setan, bahkan tergolong dosa besar. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."[al-A’râf/7:33]

Apalagi terkadang tuduhan ghuluw terhadap perkara-perkara sunnah ini mengandung ejekan dan olokan terhadap para pengamalnya. Ini jelas kesalahan di atas kesalahan. Takutlah kepada Allah Azza wa Jalla pada hari seluruh kesalahan akan ditampakkan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.[al-Hujurat/49:11]

KIAT-KIAT MENGHINDARI GHULUW.

Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk menghindari fenomena ghuluw dalam agama, diantaranya:

1. Menuntut ilmu syar’i.

Ilmu adalah lentera yang menerangi langkah kita di dunia dan menjadi asset yang amat bernilai di akhirat. Apabila lentera ini padam, maka setan akan leluasa menyesatkan anak Adam. Maka dari itu janganlah absen dari majelis-majelis ilmu. Banyak sekali faidah yang dapat kita petik dari majelis ilmu. Di antaranya adalah kita dapat bertatap muka secara langsung dengan ahli ilmu.

2. Jangan malu dan segan bertanya kepada ahli ilmu (Ulama).

Malu bertanya sesat di jalan, begitulah kata pepatah kita. Terlebih lagi dalam urusan agama. Janganlah kita malu bertanya kepada ulama dalam perkara-perkara agama yang belum kita ketahui, baik dalam perkara aqidah, ibadah, mu’amalah dan lainnya. Terlebih lagi perkara yang berkaitan dengan perincian dalam agama, misalnya prosedur pelaksanaan sebuah ibadah, perincian dalam hal aqidah dan lain sebagainya.

Kesimpulannya, kita harus menjauhi segala macam bentuk ghuluw dalam agama, baik berupa keyakinan, ucapan maupun perbuatan yang diatas-namakan agama. Dan hendaknya kita juga harus waspada jangan sampai tergelincir dalam sikap taqshîr. Di samping itu, janganlah sembrono dan serampangan dalam menilai ‘ghuluw’ tanpa ilmu.

Referensi:
1. Tafsîrul-Qur'ân al-Azhîm, Ibnu Katsîr.
2. Fathul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri.
3. Mawâridul Amân al-Muntaqâ min Ighâtsatil Lahfân, Ali Hasan Ali `Abdil Hamîd.
4. Iqtidhâ’ Shirâtul Mustaqîm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, Salim bin ‘Ied al-Hilâli.
6. Mausu’ah Manâhi Syar’iyyah, Salim bin ‘Ied al-Hilâli.
7. Madârijus Sâlikîn, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
8. Mu’jamu Maqâyisil Lughah.
9. Muqaddimah Shahîh Fiqh Sunnah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh, diriwayatkan oleh an-Nasâ'i (V/268), Ibnu Mâjah (3029) dan Ahmad (I/215), al-Hâkim mengatakan: “Shahîh, sesuai dengan syarat al-Bukhâri dan Muslim.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[2]. Mu’jamul Maqâyis IV/388.
[3]. Hadits riwayat Muslim (2670).
[4]. Hadits riwayat Abu Dâwud dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah (3124).
[5]. Hadits riwayat al-Bukhâri.
[6]. Fathul Bâri (XIII/263-265)
[7]. Muttafaqun ‘alaihi.
[8]. Muttafaqun ‘alaihi.
[9]. Silakan lihat kitab Fathul Bâri tulisan Ibnu Hajar t .
[10]. Silakan lihat kitab Mawâridul Amân tulisan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid halaman 187.


Referensi :

Terinspirasi oleh Kajian Rabu Sore, Masjid Nurul Ashri, 26 Juni 2013.dikutip dari : http://almanhaj.or.id/content/3435/slash/0/fenomena-ghuluw-melampaui-batas-dalam-agama/

Membangun Jiwa


Membangun Jiwa adalah salah satu bagian yang membutuhkan suatu proses.

Misalkan : bangunan yang megah , dihitung dengan akurat , dan didesain dengan baik, dan dikerjakan dengan serius.

Seperti itu pulalah membangun diri kita, membutuhkan siraman dan keseriusan akan ilmu.

contoh diatas mengenai 'bangunan' adalah lebih mengarahkan perhatian kita kepada perihal fisik, dan banyak dari kita lebih memperhatikan fisik.

ketika yang kita bahas tentang jiwa atau hati ,maka amat banyak dari kita yang menganggap itu bukan hal yang serius untuk ditangani sebagaimana tentang fisik .

semisal : suatu contoh ketika ada seseorang yang mengalami retak tulang, maka amat banyak spesialis dibidangnya yang menangani. dan sebaliknya ketika seseorang itu mengalami gangguan rohani dalam hal ini tazkiyatun nafs maka amat sedikit orang memahami perihal ini.

Diantara Faktor urgensi bahasan ini, berkaitan juga dengan Khutbah hajah,

Khutbah hajah ialah khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam untuk mengawali setiap majelisnya.

Beliau Shallallahu alaihi wasallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para sahabatnya Radhiallahu anhum.

Khutbah ini diriwayatkan dari oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no.1097,2118), An-Nasa’I (III/104-105), At-Tirmidzi (no.1105), Ibnu Majah (no.1892), Al-Hakim (II/182-183), Ath-Thayalisi (no.336), Abu Ya’la (no.5211), Ad-Darimi (II/142), dan Al-Baihaqi (III/214, VII/146) dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu anhu. Hadits ini SHAHIH.

Bacaan khutbah hajah tersebut ialah,

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نًََحْمَدُهُ وَنًَسْتًَعِيْنُهُ وَنًَسْتَغْفِرُهْ وَنًَعُوذً ِبِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ ِبِِِِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.


Pada pembahasan kali ini yang kita fokuskan adalah mengenai , وَنًَعُوذً ِبِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَ
artinya : "kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita".

Saat jiwa itu rapuh maka ia akan lebih mudah untuk dihancurkan sebagaimana bangunan.

Jikalau musuh itu begitu besar dan jiwa begitu kuat, maka tidak mudah untuk dihancurkan (dikalahkan).Dan musuh sekuat apapun tidak mudah untuk menghancurkannya, seandainya jiwanya kuat.

Kalau kita menengok kebelakang tentang peristiwa perang 'Uhud'.

Kejadian orang yang sudah kalah secara mental bukan pada fisik.

"Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
(Q.S.Ali Imran:165)

Sebagaimana manusia biasa, wajar bila seseorang terlupa akan sesuatu. Begitu juga pasukan yang berjaga di atas bukit Uhud. Mereka terlupa dan akhirnya turun ke lembah untuk mengambil hak pemenang perang. Melihat banyak pasukan dari pihak islam yang meninggalkan pos di atas bukit, Khalid bin Walid memerintahkan pasukan kafir yang tersisa untuk berbalik kembali dan menyerang pasukan islam. Pos di atas bukit direbut oleh kafirin dan pasukan islam yang tersisa di sana dibunuh, termasuk Hamzah paman Rasulullah.
Apakah ia sama orang yang membangun pondasi (yang berkaitan dengan fisik) dengan yang membangun pondasi diatas ketakwaan?

Dan bukankah pondasi yang tidak berada di jurang ini lebih baik dari pada yang berada di tepi jurang. maka yang akan rentang untuk ambruk atau runtuh adalah yang berada di tepi jurang dan apakah kita lebih memilih berada di tepi jurang neraka ?.

Membangun mental, jiwa dan kepribadian di isyaratkan pada dua bentuk dibawah ini,
  • Ada yang mentalnya kokoh dalam menghadapi gangguan dan ujian.
  • Ada yang mentalnya itu ialah alasan, dan alasan itu bisa dibuat-buat dengan sekian banyak alasan.
sebagai contoh : Ada suatu cerita bahwa didalam suatu perjalanan menuju suatu tempat untuk berjihad di jalan Allah ,banyak orang yang berbondong-bondong untuk memenuhi semuanya  sampai-sampai ada yang 1 ekor unta digerakan oleh 7 orang secara bergantian. ketika unta terbatas menyebabkan orang pertama dan kedua tidak jadi berangkat. Orang yang pertama kemudian menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meminta kendaraan (unta), namun Nabi tidak memberikan kendaraan (karena kondisi sepert itu,tidak ada lagi). Dan yang tidak bisa berangkat untuk berperang ada sebagian dari mereka yang 'menangis dan berderai air mata' dan ada sebagian dari yang lain yang memberikan respon (tanggapan) yang berbeda (maksudnya sebaliknya) dan ini erat kaitannya dengan pondasi ketakwaan.

Bagaimana urgensinya (ini merupakan keperluan yang mendesak, dan masalah membangun jiwa adalah keperluan mendesak/urgensi) ?

Faktor-Faktor Apa saja yang membangun jiwa (yang tadi sudah disampaikan dimukaddimah) ?.

1. Keikhlasan
2. Mendekatkan diri dengan amal-amal shalih
3. Introspeksi diri (Muhasabah Nafs)
4. Thalabul 'Ilmi (Menuntut Ilmu)
5. Bergaul dengan orang-orang Shalih
6. Tadabur Al Qur'an
7. Ikut Terlibat dalam Dakwah
8. Berdo'a

Referensi :
Terinspirasi Kegiatan Muhadharah Ammah oleh Syaikh Sa'ad Ibn Nashir Al Ghannam (Dai dan Imam Masjid Jami' di Riyad-Saudi) @ Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada, 6:30 - 08:00 [penerjemah Ust. Ridwan Hamidi]
http://trendtalking.com/wp-content/uploads/2012/12/Love-Photography-660x330.jpeg
http://khutbahtext.blogspot.com/2010/04/khutbah-hajah_12.html
http://www.dakwatuna.com/2007/04/11/154/pelajaran-dari-perang-uhud/#axzz2WR1a3Vg1
http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Uhud

Khusyu' dan Kehidupan

Isra' mi'raj...

Ketika membahas tentang ini maka akan teringat dengan ayat pertama dari surat al isra' ayat 1 yang artinya

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Isra’ menurut istilah ialah perjalanan Nabi Muhammad saw, di waktu malam dari Masjid al-Haram (Masjid al- Haram) Mekah ke Masjid al-Aqsha di Palestina, bertepatan malam 27 Rajab satu tahun sebelum hijrahnya Nabi.

Mi’raj menurut Istilah adalah naiknya Nabi Muhammad saw. dari Masjidil Aqsha ke langit sampai ke Sidrat al-Muntaha, terus sampai ke tempat yang paling tinggi untuk menghadap kepada Allah.

Mengenai shalat yang 50 kali dalam sehari semalam (50 waktu) menjadi shalat lima waktu.

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

“Allah mewajibkan atas umatku 50 shalat dan aku kembali dengan perintah itu, sampai aku melewati nabi Musa di mana dia bertanya, “Apa yang Allah wajibkan kepada umatmu?” Aku menjawab, “Allah mewajibkan 50 shalat.”Musa berkata, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya dan aku kembali kepada Musa dan berkata, “Allah telah menghapuskan separuhnya.”

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya dan aku kembali kepada Musa.

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah berkata, “Shalat itu lima (waktu) dan dinilai lima puluh (pahalanya) dan perkataan-Ku tidak akan berganti.” Aku kembali lagi kepada Musa.

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu.” Namun aku berkata, “Aku sudah malu kepada tuhanku.” (Hadits Riwayat Bukhari Muslim).



Ringkasan I : Shalat Erat kaitannya dengan Kehidupan

Ketika memaknai dari shalat dari 50 waktu (dalam sehari semalam) menjadi 5 waktu maka apa indikasi bagi diri kita, apakah kemudian menjadikan kita beruntung ataukah buntung. buntung itu dimaknai dengan saat seseorang itu shalatnya bolong-bolong, siapa tuh?ngaku aje...^^, padahal kita diberi suatu yang tidak begitu berat dari yang 50 waktu tadi. Dan apakah shalat itu berat, beratkah hati ketika shalat?.

Neraka Saqar bagi orang yang suka meninggalkan shalat...


Begitu mengerikannya,semoga menjadi suatu renungan yang menjadikan kita senantiasa menunaikan shalat.Dan beginilah akhirnya...

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"
Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. (Q.S. Al Mudatsir : 42-43)

Untuk memulai suatu awalan, mungkin sering terdengar suatu celotehan bahwasanya...


orang yang shalat saja seperti itu,dia masih menyukai untuk membicarakan kejelekan orang lain. Lalu ini menjadikan alasan bagi sebagian orang yang tidak shalat. dan kemudian ia mengatakan shalat masih belum mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.dan ini adalah kesimpulan yang tidak menjadikan orang lebih baik.

Dan seperti itu pula ibadah shalat sebagai penentu baiknya amalan yang lain...

"Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.”
(HR. Ath-Thabarani)

Dan ketika ditilik benar bahwa ibadah shalat adalah sebagai indikator yang jelas dan erat (ada hubungan yang dekat) kaitannya atau mencerminkan kehidupan kita (diluar shalat)...

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat.

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.

Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al Ankabut : 45) 


Ringkasan II : Khusyu' dan Keseharian kita

Bertanya-tanya tentang khusyu'...

Saat Shalat ,apa yang paling sulit untuk diraih ?.maka jawabannya lain dan tidak bukan adalah khusyu' dan bagaimana meraihnya didalam shalat, karena memang khusyu' akan memberikan pengaruh yang besar bagi yang meraihnya. khusyu' ibarat barang yang sulit dicari dan diketemukan ditengah kegersangan hati.

khusyu' adalah amalan hati yang hanya bisa diperoleh dengan riyadhah (latihan,melatih diri,membiasakan diri) dan mujahadah (berjuang,bersungguh-sungguh).

Khusyuk...hmm,belum tentu...

Belum tentu khusyu' dengan menggelapkan suasana (ruangan yang gelap) , dan khusyu' bukan hanya memejamkan mata, atau khusyu' bukan hanya dalam keadaan sunyi, dan bukan hanya dengan mencucurkan air mata lalu dikatakan ia sudah khusyu' dan belum tentu ketika berada di ka'bah ia lalu dikatakan khusyu' (terus untuk khusyu' harus ke ka'bah dulu...hmm), dan juga belum tentu saat seseorang memahami makna ia khusyu'.

Khusyu' dalam shalat adalah bayangan dari keseharian hidup kita.
apa yang terjadi di dalam shalat, seperti itulah yang terjadi di luar shalat (kehidupan).maka ada hubungan yang dekat antara shalat dengan kehidupan.

"Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.”
(HR. Ath-Thabarani)

Ada suatu ungkapan : Shalatlah (perilaku kita didalam kehidupan) sebelum kita shalat (maksudnya shalat yang sesungguhnya).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “shalat itu mi’rajnya orang-orang beriman.”

Adakah tempat yang pas bagi hati di muka bumi untuk 'mi'raj'? maka hati hanya bisa naik ('maksudnya mi'raj') dengan menempatkannya (menghadapkan) kehadirat Allah subhanahu wata'ala.

Ibadah shalat ialah pertemuan antara hati kita kepada Allah subhanahu wata'ala. namun sedikit sekali tersambung masuk ke 'alam' shalat. (penjelasan: terkadang saat shalat hati (jiwa) dan pikiran kita diluar shalat maka diusahakan ketika shalat bener kita menghadap ke hadirat Allah subhanahu wata'ala).

Dengan realita kesibukan kita, maka ibarat saat sebelum shalat kondisi seseorang itu berada di lingkungan yang panas namun setelah masuk shalat dan kemudian ia shalat ibarat kondisi tubuh yg panas tadi dilingkungan yang dingin sehingga kesejukkan itupun terasa.

Ada yang kemudian shalat dengan hanya badannya saja, pikirannya tidak masuk didalam shalat maka yang demikian yang diraihnya adalah hanya capek..semoga dihindarkan dari kondisi yang demikian.

Ringkasan III : Khusyu' sulit diraih, Mengapa?

Antara Khusyu', pikiran dan perasaan...

Kenapa pikiran dan perasaan tidak ikut dalam shalat (tidak merasakan khusyu') ?
dan berikut adalah faktor-faktor yang menyebabkannya :

- Jiwa yang masih kotor oleh dosa, salah dan sia-sia.
- Jiwa yang belum sepandangan dengan Allah subhanahu wata'ala.

Maksud dari kata ‘belum sepandangan dengan Allah ‘ adalah yang baik menurut pandangan Allah malah kita memandangnya itu buruk, dan yang tidak baik menurut Allah malah kita memandangnya itu baik,yang berarti belum sepandangan.dan masih saja terpaut dengan maksiat.

ketika kita bertemu dengan orang yang sepandangan maka kita ingin berlama-lama bersamanya begitupun sebaliknya. Begitu pulalah jikalau pikiran dan jiwa kita sudah sepandangan dengan Allah maka kita ingin berlama-lama ketika berdzikir kepada-Nya.namun jikalau pikiran dan jiwa kita belum sepandangan dengan Allah maka kita lebih cenderung tidak ingin berlama-lama ketika berdzikir.

Dan Begitu pula lah diwaktu shalat, ketika pikiran dan jiwa kita masih tidak sepandangan Allah maka seakan-akan shalat itu berat dan melelahkan.dan orang seperti itu lebih suka jika shalat itu tidak lama dan merasa ingin cepat selesai.

- Jiwa yang menghadap (menyenangi) kesenangan 'dunia'. Bagaimana mungkin shalat akan mempengaruhi hati dan merasakan ke-khusyu'-annya bila yang dipikirkan hanya keduniaan.(orientasi akhirat namun tidak melupakan dunia).

- Jiwa yang belum mau 'eling'

sebagai contoh : ketika adzan berkumandang, dan dipahami bahwa seseorang yang datang sebelum adzan lebih baik dibanding yang setelah adzan.namun kita lebih memilih untuk setelah iqomat ...hehe siapa ayo? ^^.apakah kita masih sadar mana yang lebih baik?.

Berikut 3 Ciri jiwa yang belum 'Eling' ?

~ Berbuat salah yang sudah diketahui.

(contoh : ketika mahasiswa tahu titip presensi ke temannya sedang dia tidak masuk, itu perbuatan yang salah dan masih saja melakukan,maka yang sepeti ini masih memiliki jiwa yang belum ‘eling’,dan contoh yang lain ketika kita tahu bahwa itu maksiat dan kita masih melakukan maka yang seperti ini masih memiliki jiwa yang belum ‘eling’,dsb)

~ Memilh yang baik padahal ada yang lebih baik.

(contoh diatas yang 'kita lebih memilih untuk berangkat setelah iqomat ketika ingin mengerjakan shalat berjama’ah bahkan terkadang masih memilih untuk masbuk maka jika kita masih memilih yang demikian maka jiwa kita masih belum ‘eling’,dsb.)

~ Lebih memilih kesenangan dunia dari pada kesenangan akhirat.

(contoh : bapak memiliki uang disaku ada yang 5 ribu dengan yang 50 ribu maka yang mana yang akan di sumbangkan. Jika kita ingin memperindah rumah yang ditinggali (akhirat) maka kita akan memaksimalkan ketika kita mampu maka akan lebih memilih yang 50 ribu. Atau ada yang ingin menyumbangkan...hmm disaku ada seribuan ga yapz?...wah gimana tuh.dan memang kita masih cenderung untuk memperindah rumah yang akan kita tinggal (dunia).dan jika kita masih memilih kesenangan dunia dari pada kesenangan akhirat maka jiwa kita masih belum ‘eling’ ,dsb)

Manakah yang lebih Penting...(pilih salah satu)

Memperindah rumah yang mau ditinggal (dunia) atau memperindah rumah yang mau ditinggali yakni akhirat (kuburan yang hanya sekitar 2m x 2m x 1m) ?

Manakah yang lebih Indah...(pilih salah satu)

Hidup sebelum Mati (dunia) ? atau Hidup sesudah mati (akhirat) ?

Dari pertanyaan diatas jika kita mau jujur pada diri sendiri, seandainya kita lebih condong membaguskan yang dunia dibanding akhirat, maka ini mengindikasikan bahwasanya daya tari dunia masih lebih besar dari pada daya tarik akhirat.

Pesan kebaikan dari ‘Syarat Sahnya Shalat’...

Sebelumnya , kita ketahui dulu ‘Syarat Sahnya Shalat’ yakni,

* Suci dari Hadats dan Najis
* Menutup Aurat
* Menghadap Kiblat
* Masuk Waktu Shalat

dan berikut, 4 pesan kebaikan dari ‘Syarat Sahnya Shalat’ yakni,

~ Suci Dari Hadats dan Najis , pesan ini menuntun kita untuk membersihkan jiwa dari segala dosa, salah dan sia-sia dan juga mensucikan jiwa dengan bertaubat.

~ Menutup Aurat, pesan ini menuntun kita supaya meluruskan sudut pandang kita tentang nilai-nilai hidup.

contoh :

Aurat, ...sesuatu yang indahkah ? atau sesuatu yang buruk ?
jika kemudian kita bertanya terutama bagi pemuda pasti menjawab sesuatu yang indah dan kemudian pemuda itu mengatakan aurat adalah sesuatu yang indah ,mengapa aurat harus di tutup? . ini berarti ada sudut pandang yang berbeda antara pemuda tadi dengan sudut pandang Allah subhanahu wata’ala (dan memang aurat itu harus ditutup, kecuali kepada mahram dan baca surat an-nur :30-31)

Kita kita bersedekah yang paling baik menurut Allah ? dan semangatkah kita untuk melakukannya ?.jika masih ada rasa berat sudut pandang kita masih belum sepandangan dengan Allah.

Percaya, Allah menyukai orang yang memaafkan ?,kemudian dalam prateknya ada yang “ga bisa deh aku maafin dia”, jika seperti ini maka kita belum memilih pandangan, yang pandangan itu baik menurut Allah.

Percayakah, kalau dosa bisa menyeret pelakunya masuk kedalam neraka ? dan apakah dosa masih menjadi sesuatu yang menarik. Maka jika jawabannya dosa itu masih menarik, maka kita masih tertarik untuk masuk kedalam neraka.

Kalau pandangan kita itu sejalan dengan pandangan Allah, maka Insya Allah kita akan merasakan Indah dan Syahdunya Khusyu’ di dalam jiwa.

~ Menghadap Kiblat, pesan ini menuntun kita untuk menghadapkan hidup kita kepada ‘akhirat’ (apapun yang kita lakukan bernilai akhirat, jika itu tidak bernilai akhirat dan sesuatu yang sia-sia maka ditinggalkan)

Di usia ini sudah waktunya untuk berpulang. Sebuah gambaran ketika seorang bapak ada tugas kantor keluar kota, terus apa yang ia katakan kepada Anaknya yang masih kecil itu , nak Bapak mau pergi ke ‘sana’ dan tanggal ‘sekian’ Bapak Insya Allah ‘pulang’.maka apa yang paling diharapkan yakni ‘pulang’ (yakni pergi ,terus pulang). Kalau kemudian seorang bapak pergi lalu dia tidak punya tujuan untuk pulang .maka istri dari bapak tadi bisa beranggapan bahwa bapak minggat (dan itu sesuatu yang salah) dan ada ‘sangkaan-sangkaan’, jadi memang pergi itu untuk pulang.

Apa yang paling diharapkan bapak dosen ketika pergi untuk mengajar mata kuliah ,yakni bagaimana bisa segera pulang dan supaya disambut oleh istri. Seperti itu juga jika ditanyakan ke mahasiswa : kalau kuliah inginnya gimana, sedikit tugas dan cepat pulang...hehe ^^.
Jadi, pergi itu sejatinya pasti akan berpulang.
Ibarat sekumpulan balon yang diikat,kemudian dilepaskan ikatan tersebut maka ia akan melambung ke atas ,karena apa? Tidak ada belenggu berupa ikatan dan halangan diatasnya. Seperti itulah jiwa ,ia akan melambung keatas (‘mi’raj’) jika ia tidak terbelenggu oleh dunia sehingga khusyu’ dalam beribadah itupun bisa diraih.

~ Masuk waktu shalat, pesan ini menuntun kita untuk selalu sadar sebelum kejadian.

jika sadar itu setelah kejadian menjadikan perilakunya sebagai orang yang sedang menggali lubang-lubang penyesalan, maka yang seperti ini menjadikan segala sesuatu menjadi berantakan.

Puncak kesadaran kita itu pertanda bahwa dihati kita telah tertanam kenangan indah saat kepulangan nanti (kuburan yang hanya sekitar 2m x 2m x 1m) menuju akhirat.

Referensi:
Terinspirasi Pengajian Dosen Universitas Gadjah Mada - 14 Juni 2013 oleh Ust. Syatori
Abdurrauf, di Auditorium Merapi (Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada)
http://sholawat-wahidiyah.com/id/index.php?option=com_wrapper&Itemid=43
http://kodoktampanbangetgila.blogspot.com/2012/11/riyadhoh.html

http://www.dudung.net/quran-online/indonesia/
http://abuzuhriy.com/baik-shalatnya-baik-amalnya-baik-hatinya-baik-shalatnya/

http://ressay.wordpress.com/2007/11/05/tawar-menawar-kewajiban-shalat-5-waktu/
http://www.dudung.net/quran-online/indonesia/17
http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-isra-dan-miraj.html
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnrSfADDJcdoqMknmgNL5sD19LPaDGXdOdDcNNbt6RNca2z2V-6o0fMNfOWBS88KhokNjTzSUpTMFcd5y6IaNgU-jTgR7eLks1dqj29mH63XKtNyLuwJnzh8wN2niQvQgP6KOH1pSKow/s1600/sholat-khusyu-tumakninah.jpg

Membangun Jama'i


Bagaimana membangun Jama'i ?

Ketika ingin membangun Jama'i supaya lebih baik maka yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
  • Menghidupkan Musyawarah.
  • Memberikan ruang kreativitas bagi para jama-ah.
  • Memberikan Apresiasi seperti memberi hadiah, atau sekedar ucapan terima kasih dan menghargai (namun tidak sampai membuatnya turun semangat).
  • Memaafkan, entah terkadang karena sesuatu itu salah maka seorang pemimpin bisa cenderung memberikan Iqab kepada bawahannya .namun harus disesuaikan apakah ia cocok ketika dikasih Iqab dan bisa pula memaafkan dan dituntun supaya lebih baik.
Kenapa suatu kinerja itu bisa kurang optimal atau profesional ?

Ketika kita mendapati staff kita yang memiliki potensi dan semangat yang baik maka perlu dioptimalkan dan di tarbiyah dan kita tidak terpaku kepada yang sebaliknya.

Itqan berarti kesungguhan dan kemantapan dalam melaksanakan suatu tugas, sehingga dikerjakannya secara maksimal, tidak asal-asalan, sampai dengan pekerjaan tersebut tuntas dan selesai dengan baik.

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melaksanakan suatu pekerjaan, maka pekerjaaan tersebut dilakukannya dengan itqan." (HR Thabrani).

dan Itqan memiliki ciri-ciri yakni :
  • Ikhlash (Tujuannya jelas yakni untuk mengharap keridhaan Allah)
  • Bersungguh-sungguh dalam setiap keadaan.
  • Ihsan -->ahsanu 'amala yakni intinya bahwa memberikan amalan yang terbaik.
Barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka hanya saja [manfaat] hal itu [juga] demi kepentingan dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kaya sehingga tidak membutuhkan alam semesta.” (QS. al-’Ankabut: 6).

Bisa jadi seseorang ditempat yang satunya ahsanu 'amala dan ditempat lain bahkan tidak, ini bisa juga dikarenakan beberapa alasan menjadikan suatu 'alibi' yang membuat dia kurang ahsanu 'amala.

Hal ini bisa terjadi ketika dia belum terbiasa diberi amanah dua atau tiga dan lebih dari itu, ini bisa juga. Atau ada keadaan atau kondisi yang membuat dia belum ahsanu 'amala misalkan keadaan sakit, atau yang lainnya.

Kepemimpinan...

Kepemimpinan berkaitan dengan 'skill' untuk mentransformasi (merubah,perubahan) dan mendinamisasi gerakan.

Memang terkadang ada seseorang yang lebih bisa menjalankan sesuatu ketika ada pressure (tekanan,desakan). namun yang terpenting adalah kesadaran. Dan hasil dakwah rasulullah yang terpenting adalah : Ketaatan yang sadar dan Orientasi Akhirat.

Komitmen...

Komitmen (diberikan tanggung jawab,diberikan loyalitas) yang melahirkan semangat
Komitmen itu diberi tali dan diikat oleh jama'ah dan bukan jama'ah yang diikat oleh komitmen.
Komitmen itu ada dua yakni  komitmen secara lisan maupun komitmen secara perilaku.

Kesadaran...

Disaat komitmen itu lemah maka kesadaran itu perlu dibangun dan perlu adanya penegasan.

Kesadaran itu dihadirkan hanya dengan ilmu dan kesadaran itu bukan suatu doktrin melainkan kesadaran itu dibentuk oleh suatu aktivitas berfikir dan hasil dari buah berfikir adalah amal.

Ketaatan...

Taat itu dibutuhkan dalam aktivitas berfikir (berfikir akan bagaimana bisa berkontribusi secara optimal).

Pahala yang takkan terputus...

Bagian dari sunnah hasanah adalah pahala yang tidak terputus.

Penting loh...

Saat melakukan suatu pekerjaan dan pekerjaan itu adalah 'penting' bagi kita maka otomatis kita takkan menyia-yiakannya.

Ini penting, cobalah untuk dibayangkan ,ditempat inilah, kita difasilitasi. Why ?, kenapa tidak bersemangat.
dan semangat itu dihadirkan jika kita menganggap setiap yang kita kerjakan itu penting dan potensi positif itu ada di sini.hmm

Referensi:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/06/lkrbfx-ihsan-dan-itqanlah-dalam-mengemban-tugas.
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/amalan-shalih-untuk-siapa.html 
http://pangonjat.files.wordpress.com/2008/04/slide91.jpg
Forga di Masjid Nurul Fikri - Fakultas Peternakan UGM- 9 Juni 2013

Perbaikilah Ikatan Persaudaraan

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara, karena itu perbaikilah hubungan dua saudara di antara kalian dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian diberikan rahmat”. (QS. Al-Hujurat: 10)

Orang beriman dipersaudarakan karena ikatan keimanan.Diantara mereka ada kedekatan dan hubungan yang istimewa.

Diantara orang beriman bersaudara kadang terjadi pertengkaran maka hal penting kedua , Allah menyebutkan ...maka perbaikilah hubungan saudara kalian (karena terkadang terjadi keretakan).

Kita itu bersaudara , kadang terjadi pertengkaran. Hal tersebut pun sudah terjadi pada zaman rasul dan sesudahnya dan ini (pertengkaran) terjadi di zaman kita.

Ketika terjadi perselisihan maka jadikanlah Al Qur’an dan As sunnah sebagai pengikatnya (tali persaudaraan)

Perang Siffin...

Api Fitnah terjadi diantara orang-orang shalih (padahal para sahabat radhiallahu ‘anhu) dan tidak sampai atau kurang dari 100 orang , dari pendapat yang lain ada yang mengatakan sampai 30 orang.
Kebanyakan para sahabat tidak mau terlibat pada kejadian tersebut, dikarenakan para sahabat (ahli badar) dan Ia memilih di rumah setelah terbunuhnya Utsman bin Affan. Mereka ingin menjaga dari fitnah dan dari kesalahan untuk bertindak (beri’tihad) dan ingin menjaga diri dari membunuh kaum muslimin (membentengi diri padahal tidak tahu Ilmunya).

Ali radhiallahu ‘anhu mengirim utusan ke mu’awiyyah dan meminta Ia berbai-at. Utusan itu berkata : Aku bersedia menemui mu’awiyyah dan aku ambil mu’awiyyah bai-at untuk mu (Ali r.a).
Kemudian Ali radhiallahu ‘anhu : mengutus Jarir ( untuk menyampaikan surat dari Ali r.a. ke mu’awiyyah untuk berbai-at)

Mengenal kata bai-at...

Berbai-at adalah salah satu amalan kepada rasul yang berupa janji atau sumpah setia kepada Imam atau wakil Imam. Bai-at ini sejatinya suatu amalah kebaikan. Namun kali ini banyak disalahgunakan sebagai contoh : ada kelompok dikalangan kita saat ini dan kelompok itu kelompok sedikit , kemudian melakukan pembai-atan (namun disalahgunakan) dan membuat keruh dan jelek atas agama Islam malah terkadang pembai-atan disalah gunakan untuk eksploitasi harta.
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, "Al'Ilmu Qoblal Qouli Wal 'Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)". Maka amal dan perkataan bukan dari yang shahih maka Ilmu tidak shahih. Dan kesungguhan belaka dalam ilmu pun tidak cukup.

Lanjut...

Ali disepakati oleh ansor dan muhajirin untuk menggantikan Utsman bin Affan. Utsman dibunuh didalam rumah padahal tertutup, diserbu orang ketika Utsman membaca Al Qur’an

Referensi:
Kajian Rabu Sore Masjid Nurul Ashri

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes